Posted in Bahasa

rindu kepada Bung Hatta

Terbayang baktimu, terbayang jasamu
Terbayang jelas…jiwa sederhanamu
Bernisan bangga, berkapal do’a
Dari kami yang merindukan orang
Sepertimu…

“Hatta”, Iwan Fals

Berbicara mengenai Bung Hatta adalah membicarakan seorang pemimpin yang dirindukan bangsa Indonesia. Saat ini, negara sedang dirundung masalah namun karakter pemimpin-pemimpin bangsa yang seharusnya berjuang keras menyelesaikan masalah justru enggan melepaskan diri dari jerat korupsi, sehingga sulit rasanya untuk tidak merindukan sosok Bung Hatta yang jujur, sederhana, dan antikorupsi. Beliau selalu mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri sendiri. Beliau tidak pernah memanfaatkan kedudukannya untuk mengeruk kekayaan pribadi. Beliau tidak silau oleh gemerlap harta dan tidak takut untuk hidup secukupnya saja.

Sejak muda, sifat-sifat tersebut sudah tampak. Bung Hatta memilih untuk berjuang menggapai kemerdekaan dengan resiko hidup miskin, dipenjara, bahkan diasingkan ke daerah-daerah terpencil daripada bekerja untuk penjajah dengan gaji yang besar.

Contoh lain keteladanan beliau dapat disimak pada peristiwa pemotongan nilai uang dari Rp 2,50 menjadi Rp 1,00 di tahun 1950-an yang lebih dikenal sebagai peristiwa “Gunting Syafruddin”. Sebagai Wakil Presiden, sebenarnya bisa saja Bung Hatta membocorkan kebijakan tersebut terlebih dahulu kepada keluarganya sehingga dampak buruk yang akan mereka terima dapat diantisipasi. Namun, demi kepentingan bangsa, hal itu tidak dilakukannya, sehingga tabungan yang telah dikumpulkan sejak lama menjadi tidak cukup lagi untuk membeli mesin jahit idaman istrinya.

Selain itu, ketika Bung Hatta telah mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden, uang pensiun yang diterimanya sangat kecil, bahkan sama dengan gaji Pak Dali, supirnya yang digaji pemerintah. Sampai-sampai, suatu saat Bung Hatta kaget melihat tagihan listrik, gas, air dan telepon yang harus dibayarnya karena mencekik leher. Menghadapi keadaan ini beliau tidak putus asa. Beliau semakin rajin menulis untuk menambah penghasilannya. Di usia senja, Bung Hatta dikirim oleh pemerintah untuk berobat ke Swedia. Menurut penuturan dokter Mahar Mardjono yang mendampinginya, sebelum pulang ke Jakarta, Bung Hatta segera memerintahkan sekretarisnya, Pak Wangsa Widjaja, untuk mengembalikan uang sisa pengobatan kepada pemerintah.

Setelah membaca sebagian kecil keteladanan Bung Hatta di atas, siapapun pantas berbangga hati dan mengacungkan dua jempol terhadap kejujuran dan kesederhanaan Bung Hatta. Kepribadiannya yang mengagumkan sulit dicari tandingannya. Apalagi di masa sekarang, korupsi merajalela, bahkan kisah nyata Bung Hatta di atas terdengar bagai dongeng belaka. Nasib bangsa carut-marut. Tanpa ragu pemimpin-pemimpin bangsa melupakan kepentingan nasional demi memenuhi pundi-pundi duniawi masing-masing. Keteladanan yang baik rupanya telah diabaikan oleh mereka, padahal merekalah yang diharapkan dapat membentuk karakter bangsa.

Bila Bung Hatta masih hidup, tentu beliau akan merasa sedih sekali melihat wajah bangsa yang telah diperjuangkannya tanpa mengenal lelah sejak usia belia. Kesedihan yang sama dirasakan pula oleh rakyat Indonesia yang kehilangan figur pahlawan. Pada awal kemerdekaan Indonesia, anak-anak kecil pun dengan mantap mengidolakan tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Bung Hatta, Bung Sjahrir, ataupun Bung Karno. Namun, anak-anak zaman sekarang, sebagian besar mengenal Bung Karno dan Bung Hatta hanya sebatas peran mereka sebagai proklamator serta Presiden dan Wakil Presiden pertama Indonesia. Ironisnya, generasi tunas harapan bangsa ini lebih senang mengidentifikasi diri dengan tokoh-tokoh khayalan Naruto, Avatar atau Doraemon. Jelaslah krisis kepahlawanan ini membutuhkan jawaban. Masalah korupsi yang merupakan sumber utama kehancuran bangsa takkan dapat diberantas tanpa teladan.

Untuk menumbuhkan teladan-teladan seperti Bung Hatta, diperlukan jawaban atas pertanyaan ini: bagaimana bisa Bung Hatta memiliki kepribadian yang demikian jujur, sederhana dan antikorupsi?

Pertama, ketaatan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Hal inilah yang merupakan faktor utama pembentuk pribadi yang jujur, sederhana dan antikorupsi. Tuhan memerintahkan kepada manusia untuk berbuat jujur dan manusia yang taat kepada Tuhan akan senantiasa menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Bung Hatta terkenal sangat religius dan terbukti bahwa ketaatannya terhadap Tuhan mampu menjadi benteng dalam setiap tindak-tanduknya. Sebagai contoh, beliau tidak pernah meninggalkan solat wajib. Walaupun beliau sakit, beliau tetap berusaha menjalankan solat Jum’at berjama’ah di masjid, dan walaupun beliau sedang dalam perjalanan jauh, beliau tetap melaksanakan ibadah puasa, padahal dalam ajaran Islam, orang yang sedang dalam perjalanan jauh dapat mengganti puasanya di hari lain.

Kedua, rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa. Patriot sejati tidak akan rela mengorbankan kepentingan bangsa yang dicintainya. Demikian pula Bung Hatta. Justru beliau merasa bahagia bila mampu berkorban demi kepentingan bangsa dan negara. Seorang teman Bung Hatta, Soerowo Abdoelmanap, pernah menyatakan bahwa bila berbincang dengan beliau, Bung Hatta selalu membicarakan masalah bangsa. “Bangsa dan bangsa saja yang ada dalam pikirannya,” ujar Soerowo.

Ketiga, kecintaan kepada kebenaran. Untuk menguak kebenaran, kejujuran merupakan syarat yang mutlak dipenuhi. Bung Hatta membuktikan rasa cintanya terhadap kebenaran dengan cara menggelorakan sikap haus ilmu. Dalam pidatonya di Universitas Indonesia tahun 1957, Bung Hatta berkata, “Pangkal segala pendidikan karakter ialah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi suatu yang tidak benar.” Kegairahannya terhadap ilmu ditunjukkan dengan kegemarannya membaca buku. Jangan lupa, sejak semula beliau termasuk orang yang mengutamakan pendidikan. Hal ini terlihat dari partai yang didirikannya, PNI-Baru, yang merupakan partai kader yang rajin menyelenggarakan pendidikan untuk rakyat.

Keempat, sikap menghargai orang lain. Dengan menghargai orang lain, seseorang dapat menghayati bilamana ia berada dalam posisi orang tersebut sehingga ia dapat menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain. Bung Hatta adalah orang yang tahu menghargai orang lain, bahkan terhadap orang kecil yang sering diremehkan. Orang-orang yang bekerja pada Bung Hatta seperti pembantu, sopir, pengawal, dan perawat perpustakaan merasa dihargai sedemikian tinggi oleh Bung Hatta sehingga mereka setia bekerja bertahun-tahun pada keluarga Bung Hatta. Mereka sayang pada Bung Hatta dan demikian pula sebaliknya.

Kelima, kedisiplinan dan ketaatan terhadap peraturan. Orang yang menaati peraturan akan berbuat jujur dan tidak melakukan korupsi, sebab korupsi adalah kejahatan dan melanggar peraturan. Sejak kecil, Bung Hatta taat pada peraturan. Sebagai contoh, ketika ia dihukum berdiri oleh neneknya, datanglah pamannya yang mengatakan bahwa hukuman telah usai. Namun, Bung Hatta tetap berdiri di situ sambil mengatakan bahwa yang menghukumnya adalah neneknya, sehingga hanya neneknyalah yang dapat memutuskan kapan hukuman tersebut usai. Dalam hal kedisiplinan, Bung Hatta punya keistimewaan. Beliau adalah seorang yang tersohor dengan julukan “manusia jam” yang sangat menghargai waktu. Beliau tidak menyukai keterlambatan barang semenitpun. Kedisiplinan terus bertahan sampai lanjut usia, Bung Hatta sangat disiplin dalam memenuhi perintah dokter yang merawatnya.

Kiranya, lima hal di ataslah yang dapat menggembleng pribadi seseorang menjadi seperti Bung Hatta yang jujur, sederhana dan antikorupsi. Tanpa bermaksud merendahkan para pemimpin bangsa yang sekarang, sepertinya kerinduan akan munculnya pahlawan-pahlawan bangsa lebih tertuju pada generasi muda tunas harapan bangsa. Generasi mudalah yang masih relatif bersih dan masih dapat dididik menuju kebaikan. Generasi mudalah yang diharapkan mampu melakukan perbaikan ketika mereka melanjutkan kepemimpinan bangsa ini kelak. Kuncinya ada pada kita semua, maukah kita meneladani Bung Hatta ? Sesungguhnya, bangsa Indonesia sangat merindukan pribadi seperti Bung Hatta.

Author:

on-going tensions between ready-made values and uncharted territory

13 thoughts on “rindu kepada Bung Hatta

  1. Nadi, this is very, very inspiring..

    I feel that the style of this article is different from the ones where you put your thoughts about what you feel (your writing are usually full of spirit, burning. But this one is calm, and I like it too. Burning, in its own calmness. .

    1. yep, i feel that too … maybe because i love the person i’m writing about … 😛 personally, i do like the “flow” of this piece … meaning: i really need more and more love, gurl 🙂

      (biasanya tulisan aku tuh kayak marah2 atau minimal kayak ada kemarahan yang terpendam huahahahahehehe :-P)

      1. Yups. It’s crystal clear that you love him 🙂

        hehehe… iyah… emosinya itu nad yang absen, hahaha
        tapi emosine kui, jangan salah, ngangeni 🙂

  2. mbaca ini kok berasa ikut pelajaran PSPB ya?
    pendidikan sejarah perjuangan bangsa.
    hehehehe…

    oio, pelajaran sejarah sekarang dah berubah jadi pelajaran fantasi. pertelevisian kita lebih banyak memutar film fantasi itu kan.. mulai dari kartun, sinetron dan lain lain.
    waktu untuk memutar hal hal yg berhubungan dengan sejarah minim, bahkan mungkin ga ada.

    1. hahaha … iya kalee din … menarik juga kalee, ngeliat gimana sejarah ditampilin (n disingkirin) dalam acara pertelevisian. kamu bener2 ngasih aku ide. thanks so much! sering2 ya (terima jadi …. :-P)

  3. Memang ya tokoh2 jaman dulu ga bisa disamain ama toloh2 jaman sekarang. Jaman emang udah berubah. Sekedar menyebut tokoh2 yg sejenis dg Hatta: Soekarno, Sjahrir, Wilopo.

Leave a reply to nadya Cancel reply